TULUNGAGUNG, Radarfakta – Sebuah skandal memalukan kembali mencoreng dunia pendidikan di Kabupaten Tulungagung. Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 1 Kedungwaru, unit pendidikan yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam pelayanan publik, justru terang-terangan melanggar aturan negara dengan menahan ijazah siswa lulusan. Lebih ironis, alasan penahanan itu sungguh remeh temeh, yakni hanya karena siswa belum mengembalikan buku pinjaman dari perpustakaan.
Ketua LSM GMAS Tulungagung, Langgeng, pada Senin (13/10/2025), mengungkapkan kemarahannya, “Hanya karena belum mengembalikan buku, ijazah siswa belum bisa diserahkan.” Pernyataan ini menunjukkan betapa bobroknya pemahaman administrasi di tingkat sekolah, yang memilih menahan dokumen penting penentu masa depan anak, daripada mencari solusi yang beradab. LSM GMAS menyatakan akan konsisten mengawal kasus ini hingga tuntas.
Pertemuan antara GMAS dengan perwakilan SMPN 1 Kedungwaru—yang hanya diwakili Humas dan petugas perpustakaan karena Kepala Sekolah konon sedang asyik berwisata ke Bali bersama siswa—justru menguak borok yang lebih besar: Dugaan kelalaian fatal Kepala Sekolah.
Terkuak bahwa guru, staf, bahkan petugas perpustakaan yang bertugas menahan ijazah, mengaku TIDAK TAHU menahu soal Peraturan Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2020. Aturan tersebut secara gamblang dan tegas menyebutkan pada Pasal 7 ayat (8): “satuan Pendidikan dan dinas Pendidikan tidak diperkenankan untuk menahan atau tidak memberikan ijazah kepada pemilik ijazah yang sah dengan alasan apapun”.
Ini adalah tamparan keras bagi Dinas Pendidikan Kabupaten Tulungagung. Bagaimana mungkin sebuah institusi yang bertugas mengawasi seluruh sekolah di wilayahnya bisa kecolongan? Pelanggaran fundamental terhadap hak siswa ini menunjukkan kegagalan total Dinas Pendidikan dalam memastikan sosialisasi dan kepatuhan terhadap regulasi di bawah tanggung jawabnya. Mereka terkesan cuek dan abai, membiarkan kepala sekolah dan jajarannya beroperasi dalam kebodohan regulasi yang merugikan masyarakat.
Bahkan, tanggapan dari Kepala Sekolah yang berstatus Pejabat Pelaksana Tugas (Plt) baru 3 bulan menjabat, Efendi, melalui pesan singkat yang menyatakan tidak merasa bersalah dan tidak merasa menahan ijazah, semakin memperparah kesan lepas tangan dan minimnya tanggung jawab. Senada dengan itu, Darmono selaku pejabat pengelola pengaduan Dinas Pendidikan hanya bisa berkelit dengan alasan kepala sekolah masih Plt dan “mungkin belum mensosialisasikan” aturan, serta staf di sekolah mengaku tidak tahu.
Sikap permisif dan pembelaan canggung dari Dinas Pendidikan ini menegaskan bahwa mereka tidak memiliki mekanisme kontrol yang kuat. Dinas Pendidikan seharusnya menjadi institusi yang paling pertama menjamin hak konstitusional siswa atas ijazah, bukan malah menjadi tempat berlindung bagi kelalaian pejabat sekolah yang melanggar hukum.
Publik menuntut jawaban: Mengapa Dinas Pendidikan Tulungagung membiarkan jajaran di bawahnya buta aturan hingga berani secara sewenang-wenang merampas dokumen penting dari tangan pemiliknya? Kasus ini bukan sekadar insiden tunggal, melainkan cerminan dari birokrasi pendidikan yang lembek, bebal, dan tidak profesional di Tulungagung. Dinas Pendidikan wajib bertanggung jawab penuh atas masa depan siswa yang terancam mandek hanya karena kealpaan dan ketidakpedulian para pejabatnya.(tim)