Ijazah Bukan Alat Tawar: Menagih Keadilan Pendidikan di Tulungagung”

Tulungagung, radarfakta — Kasus penahanan ijazah oleh pihak SMP Negeri 1 Kedungwaru menjadi bukti nyata bahwa sistem pendidikan di Kabupaten Tulungagung masih jauh dari kata berkeadilan. Insiden ini bukan sekadar masalah administratif, tetapi cermin dari kegagalan tata kelola pendidikan yang sistemik di bawah pengawasan Dinas Pendidikan Tulungagung dan lemahnya pengawasan dari pemerintah daerah.

Kasus ini mencuat setelah sejumlah orang tua mengaku tidak dapat mengambil ijazah anak mereka karena pihak sekolah menahan dokumen resmi tersebut dengan alasan belum dikembalikannya buku pinjaman sekolah. Padahal, ijazah adalah hak mutlak siswa, bukan alat tawar-menawar bagi pihak sekolah. Tindakan ini jelas melanggar regulasi nasional dan prinsip keadilan pendidikan.

Ketika dikonfirmasi, Wakil Bupati Tulungagung Ahmad Baharudin bersama Kepala Dinas Pendidikan Rahadi P. Bintara akhirnya angkat bicara. Dalam wawancara di sela pembukaan Lomba Pentas Seni di Balai Budaya Tulungagung pada Selasa (14/10/2025), keduanya menegaskan bahwa tidak ada dasar hukum yang membenarkan sekolah menahan ijazah siswa dalam kondisi apa pun.

Namun, pernyataan itu justru menimbulkan pertanyaan besar:
Jika aturan sudah jelas, mengapa praktik penahanan ijazah masih terjadi di lapangan? Apakah Dinas Pendidikan selama ini tutup mata terhadap pelanggaran yang sudah berlangsung bertahun-tahun?

Janji Wakil Bupati untuk “menindak tegas” pihak sekolah yang melanggar aturan terdengar klise. Masyarakat Tulungagung sudah terlalu sering mendengar janji serupa tanpa ada langkah konkret yang benar-benar menyentuh akar persoalan. Hingga berita ini ditulis, pihak SMPN 1 Kedungwaru bahkan belum juga memanggil orang tua siswa untuk menyelesaikan persoalan penahanan ijazah tersebut.

Kenyataan ini menimbulkan dugaan bahwa ada pembiaran sistematis dalam tubuh birokrasi pendidikan di Tulungagung. Banyak pihak menilai bahwa lemahnya pengawasan dan minimnya transparansi dalam pengelolaan sekolah menjadi sumber utama carut-marutnya dunia pendidikan di daerah ini. Beberapa pemerhati pendidikan juga menyoroti masih kuatnya budaya “asal bapak senang” di kalangan birokrat, yang lebih sibuk menjaga citra ketimbang memperjuangkan hak-hak siswa.

Tidak sedikit pula sekolah negeri di Tulungagung yang diduga melakukan praktik serupa, menahan ijazah siswa karena alasan sepele: tunggakan sumbangan, kehilangan buku, atau kerusakan fasilitas sekolah. Padahal, Kementerian Pendidikan sudah berulang kali menegaskan bahwa penahanan ijazah termasuk bentuk pelanggaran terhadap hak dasar warga negara untuk memperoleh pendidikan.

Persoalan ini juga memperlihatkan betapa rapuhnya komunikasi antara Dinas Pendidikan, kepala sekolah, dan masyarakat. Bukannya membangun sistem pengawasan yang jelas dan transparan, Dinas Pendidikan terkesan baru bereaksi setelah persoalan mencuat di media.

Masyarakat kini menanti aksi nyata, bukan sekadar klarifikasi.
Apakah Ahmad Baharudin dan Rahadi P. Bintara benar-benar memiliki keberanian untuk menegakkan disiplin birokrasi dan melindungi hak-hak siswa? Ataukah kasus SMPN 1 Kedungwaru hanya akan menjadi satu lagi catatan kelam yang berlalu begitu saja, seperti banyak kasus pendidikan lain di Tulungagung yang tak pernah tuntas?

Pendidikan seharusnya menjadi jalan menuju masa depan, bukan ladang birokrasi penuh aturan kaku dan pembiaran. Jika sistem seperti ini terus dibiarkan, maka masa depan generasi muda Tulungagung akan terjerat dalam lingkaran ketidakadilan dan ketidakpedulian pemerintah daerah terhadap nasib pendidikan anak-anaknya sendiri.(tim)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Deskripsi gambar