Bojonegoro, Radarfakta. Polemik pungutan Rp5.000 untuk jasa penyebrangan jalan di Desa Sumuragung, Kecamatan Sumberrejo, Kabupaten Bojonegoro, memasuki babak baru. Pemberitaan di media sosial pada Rabu (13/8/2025) memunculkan dugaan pungutan liar (pungli) yang melibatkan salah satu lembaga desa.
Namun, pihak pemerintah desa bersama aparat keamanan membantah tudingan tersebut.Kepala Desa Sumuragung, Mashadi, menegaskan bahwa pungutan tersebut bukan pungli, melainkan iuran yang disepakati oleh para penjaga jalan dan anggota Linmas untuk kebutuhan internal, seperti pembelian seragam dan perlengkapan operasional. “Itu bukan pungli, itu iuran untuk kas mereka sendiri. Tuduhan itu fitnah,” kata Mashadi.
Ia juga menjelaskan bahwa kesepakatan pungutan dibuat setelah pertemuan di ruang Babinsa dan Bhabinkamtibmas, dan menegaskan bahwa tidak ada sepeser pun uang yang masuk ke kas desa atau diambil oleh aparat. “Nanti uang dikumpulkan oleh Pak Babin dan Babinkamtibmas, tapi untuk mereka sendiri,” tambahnya.
Meski pernyataan itu disampaikan tegas, beda dengan pernyataan tegas dari Manan Ketua LSM PIPRB (perkumpulan independen peduli rakyat Bojonegoro) mempertanyakan sejumlah fakta di lapangan, apa benar pungutan tersebut murni hasil kesepakatan sukarela? Siapa saja pihak yang terlibat langsung dalam pembentukan kesepakatan? Apakah seluruh penjaga jalan sepakat, atau ada yang merasa terpaksa?
Informasi yang diperoleh dari delapan orang penjaga penyebrangan jalan mengindikasikan adanya keberatan atas pungutan tersebut, beberapa di antaranya menyebut tidak mengetahui adanya rapat kesepakatan, sementara yang lain mengaku hanya mengikuti arahan karena khawatir posisinya terancam, lanjutnya.
Masih Manan, Poin kritis lainnya adalah tidak adanya dokumen resmi yang mengatur mekanisme pungutan tersebut, hingga berita ini diturunkan, belum didapati klarifikasi yang disertai bukti administratif seperti berita acara rapat, daftar hadir peserta kesepakatan, atau notulensi resmi yang dapat menjadi landasan hukum pungutan.
Dalam konteks hukum, tanpa adanya dokumen resmi, pungutan yang terkesan wajib kepada pihak tertentu berpotensi dikategorikan sebagai pungli, meskipun nominalnya kecil dan alasan penggunaannya untuk keperluan internal.“Kalau Cuma ngomong itu salah, itu fitnah, tanpa ada bukti dokumen, anak SD kelas 5 juga bisa ngomong” sindir Manan.
Lanjut Manan, Tata kelola pemerintahan desa, setiap bentuk pungutan yang memengaruhi pihak ketiga, apalagi menyangkut penggunaan jalan atau fasilitas umum, harus memiliki dasar hukum yang jelas, baik berupa peraturan desa (Perdes) atau keputusan resmi lembaga terkait. Tanpa itu, pungutan mudah dianggap melanggar aturan.Selain aspek hukum, etika publik juga menjadi sorotan. “Sekalipun uangnya untuk seragam, kalau pengumpulan dilakukan di bawah fasilitasi aparat dan tanpa dokumen resmi, publik akan bertanya-tanya” lanjutnya.
Kasus ini memperlihatkan adanya perbedaan tajam antara klaim resmi pemerintah desa dan pengakuan para penjaga jalan. Tanpa pembuktian dokumen pendukung, klarifikasi yang hanya berupa pernyataan lisan akan sulit menghapus kecurigaan masyarakat.“
Jika tidak segera dilakukan penelusuran mendalam dan transparansi dokumen, isu pungli di Desa Sumuragung berpotensi menjadi preseden buruk dalam tata kelola desa, sekaligus menggerus kepercayaan publik terhadap aparat setempat” Pungkasnya. (Guh/red)