TULUNGAGUNG, RadarFakta — Skandal Dua Stempel Desa Bendiljatikulon Administrasi Bobrok, Dugaan Pemalsuan Menguat, Tanggung Jawab Kades Dipertanyakan
Desa Bendiljatikulon, Kecamatan Sumbergempol, Kabupaten Tulungagung, kini berada di tengah badai skandal administrasi paling serius dalam beberapa tahun terakhir. Kepala Desa (Kades) Drs. Mohamad Tohir diduga membuka celah terjadinya pemalsuan dokumen setelah terkonfirmasi adanya dua stempel desa yang identik, dan keduanya digunakan secara aktif dalam pengesahan dokumen resmi.

Temuan ini bukan isu kecil. Stempel desa adalah alat legalitas tertinggi di tingkat pemerintahan desa. Keberadaan dua stempel sama-sama aktif adalah kelalaian fatal yang berpotensi mengarah pada tindak pidana.
Dalam keterangannya kepada media, Kamis (13/11/2025), Kades Tohir secara terbuka mengakui:
Yang satu saya simpan, dan yang satu lagi saya taruh di laci kantor. Tapi yang di kantor itu dipakai tanpa izin saya.
Pernyataan ini justru memicu lebih banyak pertanyaan ketimbang jawaban:
- Mengapa ada dua stempel resmi desa?
- Mengapa satu stempel dibiarkan di laci kantor tanpa pengawasan?
- Bagaimana mungkin perangkat desa bisa bebas menggunakan stempel tanpa mekanisme kontrol?
Tohir kemudian menunjuk perangkat desa berinisial AW, suami dari pemohon dokumen Nanda I, sebagai pihak yang memakai stempel tanpa izin. Namun publik menilai, pengalihan kesalahan kepada perangkat tidak serta-merta menghapus tanggung jawab seorang Kades, yang secara struktural merupakan penanggung jawab penuh administrasi desa.
Kekacauan Data Anak: Tiga Versi, Tiga Lembaga, Satu Desa Berantakan
Skandal ini mulai terungkap setelah data seorang anak, Alesiia Zahra Salsabila, muncul dalam tiga versi berbeda di tiga dokumen resmi:
- Surat Keterangan Lahir Desa: Anak ke-5 — diduga disahkan menggunakan stempel ganda.
- Data Dispendukcapil:Anak ke-1.
- Kartu Keluarga (3504100804250004):Anak ke-2, dengan kakak bernama Cinta Arvandi (lahir 2000).
Perbedaan mencolok ini bukan sekadar salah input, melainkan indikasi kuat adanya manipulasi data dari tingkat desa yang lolos verifikasi hingga ke tingkat kabupaten.
Dalam audiensi di Kantor Kecamatan Sumbergempol, Camat Heru menegaskan akan memanggil oknum AW dan melakukan pemantauan kehadiran serta aktivitas di kantor desa.
Sementara itu, Dispendukcapil Tulungagung berdalih proses pencatatan kelahiran sudah “sesuai prosedur” berdasarkan berkas dari desa. Pernyataan ini justru memperlihatkan lubang besar dalam sistem pengawasan antar-instansi — karena dokumen yang diduga tidak sah tetap lolos sebagai dokumen valid.
Kasus ini berpotensi masuk ranah pidana, bukan sekadar pelanggaran administrasi.
Keberadaan dua stempel desa yang identik adalah pelanggaran berat dalam sistem pemerintahan.
Potensi Pidana Pasal 263 KUHP — Pemalsuan Surat. Setiap orang yang menggunakan stempel palsu,atau menggunakan stempel asli tanpa kewenangan,dapat terancam penjara hingga 6 tahun.
Apakah hanya AW yang akan dijadikan kambing hitam?
Ataukah Kades Tohir juga akan dimintai pertanggungjawaban atas kelalaian menyediakan alat yang memungkinkan terjadinya pemalsuan?
Kasus ini kini menjadi ujian besar bagi Inspektorat Tulungagung, Dispendukcapil, dan penegak hukum untuk memastikan:
Apakah ini sekadar kecolongan, pembiaran, atau indikasi maladministrasi sistemik yang sudah lama terjadi di Desa Bendiljatikulon?(Bersambung….)













