TULUNGAGUNG, Radarfakta — Sengketa hak asuh bayi 10 bulan di Tulungagung kini memasuki fase paling krusial dan berpotensi menyeret pihak ibu asuh non-keluarga ke meja hukum. Konflik antara kakek kandung dan ibu asuh tersebut tidak lagi sekadar persoalan perdata, tetapi telah mengarah pada dugaan kuat tindak pidana—mulai dari pemalsuan identitas hingga penelantaran anak.
Pakar perlindungan anak, Rostine Ilyas, Pembina Komnas Perlindungan Anak Pusat melalui pesan singkat kepada ibu jeny (bunda naomi) menegaskan bahwa secara hukum, keluarga sedarah berada pada posisi absolut sebagai pemegang hak asuh setelah ibu kandung bayi meninggal dunia. “UU Perlindungan Anak dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) sudah sangat jelas: hadhanah otomatis jatuh kepada keluarga sedarah terdekat, dalam hal ini kakek kandung, selama keluarga dinilai mampu dan layak,” ujarnya.
Rostine membeberkan fakta mencolok: pengasuhan yang dilakukan ibu asuh non-keluarga tidak memiliki dasar hukum apa pun, karena tidak pernah ada proses adopsi resmi melalui pengadilan. Artinya, sejak awal pengasuhan itu berstatus ilegal.
Sengketa ini berubah menjadi kasus serius setelah terungkap dugaan manipulasi identitas pada dokumen kependudukan bayi. Ibu asuh diduga mengubah data resmi sehingga seolah-olah bayi tersebut adalah anak kandungnya sendiri.
Tindakan ini berpotensi menjerat pelaku dengan dua pasal pidana berat:
Pasal 94 UU Administrasi Kependudukan
Ancaman 6 tahun penjara dan/atau denda Rp75 juta bagi siapa pun yang memalsukan atau memanipulasi data kependudukan.
Pasal 263 KUHP tentang Pemalsuan Surat
Ancaman 6 tahun penjara bagi pelaku yang membuat atau menggunakan surat palsu yang dapat menimbulkan suatu hak.
Sumber internal menyebutkan bahwa data kependudukan bayi sempat dihapus setelah laporan masuk, dugaan kuat untuk menghilangkan jejak manipulasi. “Penghapusan data ini jelas indikasi adanya upaya menutupi tindak pidana. Ini bisa menjadi pemberat dalam proses penyidikan,” ungkap sumber tersebut.
Posisi ibu asuh semakin sulit setelah ditemukan bahwa bayi tidak mendapatkan imunisasi wajib selama berada dalam pengasuhannya. Kelalaian ini dapat dikategorikan sebagai penelantaran anak, sebagaimana diatur dalam:
Pasal 76B UU Perlindungan Anak (larangan menelantarkan anak)
Pasal 77 UU Perlindungan Anak (ancaman pidana bagi pelaku penelantaran)
Pengabaian hak kesehatan dasar bayi ini dianggap sebagai alasan kuat bagi aparat untuk segera memindahkan anak ke keluarga kandung demi keselamatannya.
Keluarga kandung diminta segera melapor ke: UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA),Dinas Sosial Kabupaten Tulungagung
Kedua lembaga ini berwenang untuk Melakukan asesmen dan klarifikasi independen,Menyusun Berita Acara Penyerahan Anak (BAPA),Memastikan proses penyerahan berjalan aman dan sesuai prosedur.
Apabila ibu asuh tetap menolak menyerahkan bayi, pihak kepolisian dapat langsung turun tangan. Penolakan tersebut dapat menjadi tindak pidana lanjutan, sehingga polisi memiliki dasar untuk melakukan penjemputan paksa berdasarkan laporan pemalsuan dokumen maupun penelantaran anak.
Kasus ini kini berada dalam sorotan publik sebagai contoh serius bagaimana penyimpangan pengasuhan non-keluarga dapat berubah menjadi kejahatan berlapis yang mengancam keselamatan anak.













