Breaking News
- Bupati Trenggalek Launching Satgas Daya (Satuan Tugas Swadaya)
- Pisah Sambut Dandim 0806 Trenggalek: Letkol Yudo Pamit, Letkol Isnanto Siap Bertugas
- Nganjuk Unggul dalam Program Koperasi Merah Putih, Bawa Pulang Rp 3 Miliar
- Sekda Trenggalek Ambil Apel Di Dinas Perinaker Mengajak ASN Kerja Dengan Baik
- Peringatan Hari Bhayangkara Ke -79 Wabup Syah Menyampaikan Terima Kasih
- Pemasangan tiang fiber optik (FO) di kecamatan dander Diduga belum berizin
- Rapat Dengar Pendapat Komisi III DPRD Nganjuk Bersama KTNR Terkait Odol
- Sekda Trenggalek Edy Soepriyanto Mengajak Bersahabat Dengan Alam
- Dugaan Ketidaktransparanan PTSL di Desa Kedungdowo, Warga Desak Kejari Nganjuk Segera Tuntaskan
- BPJS Ketenagakerjaan Gelar Media Gathering Bersama Pemkab Bojonegoro.
Buntut Unggahan Liar: Pejabat Tulungagung Terseret, Pakar Hukum Ingatkan Konsekuensi Pidana

Tulungagung ,Radarfakta– Gelombang tuduhan keras menerjang
sejumlah pejabat di Desa Suwaluh, Kecamatan Pakel, Tulungagung, menyusul
serangkaian unggahan video viral di media sosial. Seorang Pekerja Migran
Indonesia (PMI) asal Desa Suwaluh yang dikenal sebagai Suci, melontarkan tudingan
tajam mulai dari dugaan sogokan hingga "gotong sound" oleh seorang camat pakel yang ia sebut "Mangku LC." Ungkapan-ungkapan bernada
sumpah serapah seperti "Benu," "Parliah,"
"Gudik," hingga istilah kasar "Gat*l" tak luput dari
lontaran Suci, menyasar kebijakan kepala desa, perangkat desa, terutama Camat
Pakel.
Penelusuran tim menunjukkan bahwa
Suci, yang kini berada di luar negeri, menyampaikan seluruh uneg-unegnya dengan
nada berapi-api melalui berbagai platform media sosial. Bahasa kiasan dan
terkesan cacian digunakan Suci untuk menyuarakan ketidakpuasannya, menjadikan
unggahannya cepat menyebar dan memicu perbincangan.
Pengamat hukum Pujihandi, S.H., M.H.,
angkat bicara mengenai insiden ini, mengingatkan bahwa "tuduhan kepada
seseorang tanpa bukti ada konsekuensi hukumnya." Meskipun Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah menghapus Pasal
27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik, pernyataan Suci tetap memiliki celah
hukum yang serius.
"Kritik lewat platform media
sosial itu sah-sah saja, namun harus diingat kritik bukanlah yang mengandung
ujaran kebencian apalagi tuduhan yang menjurus urusan pribadi seseorang
sehingga berpotensi untuk diperkarakan," tegas Pujihandi pada Jumat
(28/6/2025).Pernyataan Suci yang secara eksplisit
menyebut "Benu, parliah, gudik, camat, gotong sound, sogokan hingga mangku
LC (purel)" dan istilah "Gat*l" berpotensi diinterpretasikan
sebagai tuduhan yang menjurus ke urusan pribadi, ujaran kebencian, atau bahkan
penyebaran berita bohong yang dapat menimbulkan kerusuhan di masyarakat,
terutama jika tidak disertai bukti yang valiD.
Pujihandi menjelaskan, meski pasal pencemaran nama baik
dihapus, Pasal 28 ayat (3) UU ITE yang mengatur tentang larangan menyebarkan
berita bohong yang menimbulkan kerusuhan di masyarakat tetap berlaku dan
relevan. "Jika tuduhan Suci terbukti tidak benar dan berpotensi
menimbulkan kegaduhan atau merugikan nama baik individu yang disebut, pihak
yang merasa dirugikan dapat mengambil langkah hukum," jelasnya.
Implikasi hukum bagi Suci bisa
beragam. Pihak yang merasa dirugikan, seperti Camat Pakel atau individu lain
yang disebutkan, dapat melaporkan Suci atas dasar: Penyebaran
Berita Bohong: Apabila tuduhan Suci tidak terbukti kebenarannya dan memicu
keresahan atau konflik di tengah masyarakat, hal ini bisa dikategorikan sebagai
penyebaran berita bohong dalam lingkup UU ITE.Perbuatan
Tidak Menyenangkan/Fitnah (di luar UU ITE lama): Meskipun istilah pencemaran
nama baik dalam UU ITE telah diubah, delik lain dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) berpotensi diterapkan jika pernyataan Suci dianggap sebagai
fitnah atau perbuatan tidak menyenangkan yang secara langsung dan personal
merugikan orang lain.
Namun, fokus pembuktian akan beralih pada niat jahat dan kerugian
yang timbul, bukan lagi sekadar "nama baik" seperti dalam UU ITE
sebelumnya."Penting bagi individu untuk
selalu berhati-hati dalam menyampaikan kritik di media sosial dan memastikan
bahwa kritik tersebut bersifat konstruktif, didasari fakta, dan tidak melanggar
batasan hukum, terutama terkait larangan menyebarkan berita bohong atau ujaran
kebencian," pungkas Pujihandi.
Hingga berita ini dipublikasikan, tim
telah berupaya menghubungi Camat Pakel, Imam Suwoyo, S.Sos., M.Si. melalui
pesan langsung WhatsApp untuk meminta tanggapan terkait tudingan Suci, namun
belum mendapatkan respons. Kasus ini menjadi pengingat penting akan konsekuensi
hukum dari ekspresi di ranah digital, terutama jika tanpa didukung bukti yang
kuat dan menjurus pada fitnah atau penyebaran berita bohong.(tim)
Pengamat hukum Pujihandi, S.H., M.H.,
angkat bicara mengenai insiden ini, mengingatkan bahwa "tuduhan kepada
seseorang tanpa bukti ada konsekuensi hukumnya." Meskipun Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah menghapus Pasal
27 ayat (3) tentang pencemaran nama baik, pernyataan Suci tetap memiliki celah
hukum yang serius.

Write a Facebook Comment
Tuliskan Komentar anda dari account Facebook
View all comments